RSS

Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat di sekitar Kawasan Goa Ulu Tiangko dan Kajian Permasalahannya


Menurut penuturan Kepala Desa Tiangko Panjang (2009), sebenarnya yang dimaksud sebagai Gua Ulu Tiangko ialah goa yang berada di hulu yang belum ditetapkan sebagai kwasan apapun. Menurut Kepala Desa, goa yang berada di hulu tersebut memiliki mitos dan sejarah yang diyakini menjadi penyebab ditemukannya goa Tiangko. Di bagian hulu tersebut terdapat goa Gubernur yang di dalamnya terdapat gong. Goa Gubernur ini diketahui dulunya ditemukan oleh seorang Gubernur yang tengah menunggang kuda masuk ke dalam goa dan dinamakanlah goa tersebut sebagai goa Gubernur. Gong yang ada di goa tersebut digunakan sebagai alat untuk memanggil dan mengumpulkan masyarakat pada zaman dahulu.

Masyarakat Desa Tiangko Panjang yang terdiri atas berbagai suku, seperti Melayu, Kerinci, Jawa, Minang, dan Kubu yang masing­-masing memiliki kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri, tidak berani secara sosial untuk memanfaatkan atau mengelola mandiri komplek pergoaan di bagian hulu. Hal ini dikarenakan mereka masih memiliki keprcayaan dan sangat patuh pada moyang atau para puyang mereka yang telah lebih dahulu mengetahui daerah tersebut.

Sebagai cagar alam, keberadaan goa Ulu Tiangko merupakan sumber air bagi usaha pertanian, perkebunan, dan waduk. Air yang mengalir dari waduk ialah air yang berasal dari dalam goa yang berada di atasnya, tepatnya di komplek pergoaan yang belum dijadikan cagar alam. Hingga saat ini, komplek pergoaan tersebut belum mendapatkan perhatian dari pihak kehutanan setempat maupun BKSDA.

Disamping itu, masyarakat desa hutan yang menurut Simpoha (1997) terdiri dari masyarakat hukum adat, masyarakat adat, dan masyarakat pendatang, diketahui bermata pencarian sebagai petani (Ariyanti 2008). Mereka bermukim dan melakukan aktivitas usaha taninya di sekitar hutan. Masyarakat petani pedesaan di desa Tiangko Panjang masih sangat bergantung dengan alam sekitar. Dengan adanya larangan dari pemerintah untuk mengakses dan mengelola sumberdaya hutan, mendorong masyarakat merubah pola pikir dengan bekerja dan memanfaatkan sarana pekerjaan lain seperti memanfaatkan kawasan cagar alam menjadi objek wisata.



Sebagai masyarakat desa hutan yang dekat dengan kawasan hutan dan melihat keadaan cagar alam yang tidak termanfaatkan, masyarakat merasa perlu untuk turun tangan memanfaatkan kawasan cagar alam. Mereka melihat bahwa cagar alam Gua Ulu Tiangko berpotensi untuk dijadikan sebagai salah satu objek wisata di desa mereka. Usul ini pun mendapat tanggapan baik dari kepala desa dan menyetujui dengan syarat dapat meningkatkan pendapatan atau pemasukan bagi desa. Dikarenakan menurut pertimbangan bahwa pengelolaan cagar alam tersebut belum jelas. Dahulunya ada dua sampai tiga orang yang menjadi pengawas dan pengelola cagar alam, tapi beberapa tahun terakhir para pengurus atau pengelola tersebut sudah jarang memantau dan mengawasi kondisi cagar alam. Meskipun telah dijadikan oleh warga sebagai objek wisata, para pengelola tetap jarang memperhatikan kondisi cagar alam.

Kepala desa Tiangko Panjang (2009, dalam perbincangan khusus) mengungkapkan bahwa ia menyetujui adanya aktivitas wisata di kawasan cagar alam mengingat keterbatasan sumberdaya yang dapat dikelola sebagai mata pencarian warga setempat. Tindakan kepala desa yanga mengizinkan adanya aktivitas wisata di dalam kawasan cagar alam menurut Saputro (2006) memungkinkan masyarakat setempat untuk mempermudah mendapat akses terhadap sumberdaya tertentu yang tercermin dalam penerapan aktivitas wisata tersebut.

Secara sosial, kegiatan masyarakat atau penduduk setempat dinilai sebagai sebuah bentuk kepatuhan dalam pendekatan Kapital Sosial (social capital). Penduduk sekitar Gua Ulu Tiangko merasa mereka telah melakukan hal yang benar karena telah mendapat dukungan dari pemimpin desa mereka (kepala desa). Hal ini sesuai dengan penuturan Dharmawan (2002a, 2002b) bahwa social capital (modal sosial) ialah suatu nilai mutual trust (kepercayaan) antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Ia melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong suatu kolaborasi sosial untuk kepentingan bersama dan mampu dijadikan sebagai perekat diantara anggota masyarakat untuk menjaga kebersamaan (Stone dan Hughes 2002). Sehingga dapat dikatakan masyarakat desa Tiangko Panjang telah melaksanakan kepatuhan mereka terhadap pemimpinnya (kepala desa).

Seluruh kegiatan atau aktivitas manusia pasti menimbulkan dampak atau bekas baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan wisata secara potensial dapat memberikan efek kedepan maupun kebelakang. Paling tidak menurut Vanhove dalam Amanda (2009) terdapat tiga keuntungan dari aktivitas wisata. Pertama, akan memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi pendapatan masyarakat. Kedua, mampu mengurangi jumlah penganggur karena daya serap tenaga kerjanya yang cukup besar dan merata. Ketiga, mendorong adanya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan yang dikelolanya.

Sesuai dengan pendapat Seralgedin dan Grootaert dalam Saputro (2006), kegiatan wisata yang dikelola masyarakat tersebut termasuk tindakan modal sosial yang secara sosial mampu menjadi pemersatu dan mampu meningkatkan solidaritas dan kerjasama antar masyarakat setempat. Didukung oleh pendapat Uphoff (2000) dalam Suwartika (2003), kegiatan masyarakat menerapkan dua komponen dalam modal sosial yaitu solidaritas dan kerjasama. Hal ini dilakukan atas dasar keinginan menolong orang lain, bersama-sama menutupi biaya bersama untuk kepentingan kelompok. Adanya sikap-sikap kepatuhan dan kesetiaan terhadap kelompok meyakinkan bahwa anggota lain akan melaksanakannya, atas dasar norma-norma untuk bekerjasama, bukan sendiri-sendiri. Masyarakat bersikap kooperatif dan akomodatif dalam usaha membaktikan diri dalam menerima tugas untuk kemaslahatan bersama dan meyakinkan bahwa bekerjasama akan lebih menguntungkan. Dengan adanya mata pencarian baru sebagai pengelola kegiatan wisata di cagar alam Gua Ulu Tiangko, mereka merasakan bahwa kegiatan mereka bermanfaat bagi mereka dan lingkungan.

0 komentar:

Post a Comment