RSS

Pengaruh Aktivitas Masyarakat terhadap Pengelolaan Suaka Margasatwa Muara Angke

Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) memiliki fungsi pokok terutama dalam pengawetan keanekaragaman hayati. Dengan keberadaan SMMA diharapkan keanekaragaman jenis, populasi, dan habitat burung-burung air (khususnya jenis-jenis langka, dilindungi, terancam punah, dan migran) dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Selain itu, kawasan ini diharapkan berfungsi sebagai sarana mempertahankan sistem hidrologis wilayah Jakarta.

Gambar 1  Suaka Margasatwa Muara Angke.
Secara fisik SMMA dikelilingi oleh berbagai aktivitas manusia karena letaknya berada di wilayah ibu kota negara dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang tinggi telah menyebabkan kawasan ini mendapatkan berbagai tekanan. Tekanan-tekanan tersebut antara lain perambahan kawasan untuk pertambakan dan permukiman, penebangan liar serta pencemaran oleh sampah dan limbah industri (LPPM 2000).

Berdasarkan rekapitulasi data bulan Juli 2008, penduduk Muara Angke berjumlah 43.927 jiwa yang terdiri dari 22.861 laki-laki dan 21.066 perempuan. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh penduduk setempat cukup rendah yakni sebanyak 46,02% masyarakat tidak menyelesaikan pendidikan dasar mereka. Dengan ditetapkannya kawasan Muara Angke sebagai sentral pemukiman nelayan mendorong seluruh nelayan yang tersebar di berbagai lokasi di Pantai Utara Jakarta mendatangi dan tinggal di kawasan ini, termasuk di dekat kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (Putri 2009).

Masyarakat Suaka Margasatwa Muara Angke rata-rata berpenghasilan dari pekerjaan mereka sebagai nelayan. Selain itu, pendapatan lain juga berasal dari peranan para wanita (istri dan anak) sebagai pembantu rumah tangga dan berdagang. Secara umum, masyarakat setempat hanya fokus pada produksi perikanan dan peningkatan ekonomi mereka sehingga berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke kurang diperhatikan. Meskipun demikian, mereka tetap memanfaatkan bantaran sungai (kali) disepanjang areal kawasan untuk memenuhi kebutuhan mencuci dan mandi.

Kemudahan yang diberikan dengan tinggal di bantaran kali disekitar kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke mendorong masyarakat
tersebut enggan untuk mengungsi atau pindah ketempat yang lebih layak meskipun sudah banyak dilakukan himbauan baik yang berasal dari Pemerintah Daerah maupun pihak pengelola kawasan suaka margasatwa. Hal ini dapat berdampak pada kelestarian kawasan suaka margasatwa. Dampak lingkungan yang terjadi bukan hanya pencemaran secara fisik kawasan, tetapi juga pada kondisi satwa yang ada di suaka margasatwa tersebut.

Gambar 2  Kondisi Perairan di Bantaran Sungai Muara Angke.
Pemanfaatan bantaran sungai di sekitar kawasan sebagai tempat mencuci dan mandi dapat menambah pencemaran air sungai. Pencemaran sungai tersebut dapat berdampak pada pertumbuhan tanaman yang ada di pinggir sungai, terutama bagi hutan mangrove. Air yang terserap oleh hutan mangrove dapat menjadi penghambat pertumbuhan atau mengganggu pertumbuhan karena banyaknya kandungan bahan kimia berbahaya di dalam air. Selain itu, kemungkinan terminumnya air oleh satwaliar yang ada di Suaka Margasatwa Muara Angke dapat terjadi. Tercemarnya sumber air bersih yang ada karena tercemarnya sungai yang menjadi tempat tinggal atau permukiman penduduk juga menjadi salah satu dampak yang cukup berbahaya bagi kesehatan.

Tak lepas dari dampak yang ditimbulkan, ada beberapa masyarakat setempat sadar akan pentingnya air dan fungsi air bagi kehidupan umumnya dan bagi SMMA khususnya. Dengan kesadaran tersebut, mereka mulai menanam dan merawat pohon-pohon yang ada disekitar SMMA. Mereka menanam bakau, api-api dan tanaman lain yang cocok di tanam di kawasan SMMA dan lingkungan rumah mereka.

Gambar 3  Monyet Ekor Panjang di SM Muara Angke.
Keberadaan kawasan memberikan manfaat bagi masyarakat, namun keberadaan masyarakat memberikan hambatan kepada pengelolaan kawasan seperti masalah sampah, tidak ada pembatasan kuota pengunjung SMMA. Hal ini dikarenakan belum adanya jalur koordinasi yang tepat antara pihak pengelola dengan masyarakat sekitar. Berbagai bentuk pengelolaan hanya diatur dan dikelola oleh pihak Suaka Margasatwa tanpa adanya pelibatan masyarakat di dalamnya. Menurut penilaian beberapa orang masyarakat, Suaka Margasatwa Muara Angke tersebut tidak dikelola secara baik. Hal ini terbukti dari banyaknya satwa-satwa yang lepas seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dari dalam kawasan SM. Satwa tersebut masuk ke komplek perumahan dan mengganggu perumahan setempat dan mengotori perumahan karena tempat sampah yang ada di ganggu oleh satwa tersebut. Akan tetapi menurut pengelola, keberadaan komplek perumahan yang berada dekat dengan SMMA dirasakan sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan kawasan. Banyaknya pagar pembatas SMMA yang hilang atau dicabut oleh orang yang tidak dikenal. Selain itu, masyarakat komplek setempat pun sulit untuk di ajak bekerja sama dalam melakukan pengelolaan suaka margasatwa.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat Muara Angke merupakan fakta penting yang dapat mempengaruhi kondisi pengelolaan suaka margasatwa. Rusaknya hutan mangrove di Muara Angke disebabkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Hal ini terbukti banyaknya sampah yang menumpuk di sungai Angke. Tanaman mangrove yang sedang bertumbuh seringkali terganggu oleh banyaknya sampah yang yang berasal dari sana.

Menurut Manurung (2005) aktivitas masyarakat disekitar suaka margasatwa ada yang bersifat positif seperti keterlibatan masyarakat dalam upaya pelestarian, rehabilitasi dan aktivitas masyarakat yang bersifat negatif seperti masyarakat yang menebang kayu bakau, menambatkan kapal, berburu dan pembuatan gubuk. Namun hal tersebut berbeda dengan hasil wawancara yang diperoleh. Menurut penduduk sekitar (nelayan), tidak ada keterlibatan baik dari masyarakat kepada kawasan maupun dari pengelola kepada masyarakat, sehingga pengelolaan kawasan hanya dilakukan oleh pengelola.

Menurut Winoto (1997), pemberdayaan masyarakat harus dibangun diatas premis kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang meliputi:
1. Premis mengenai sifat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat. Di dalam proses interaksi sosial, manusia umumnya berusaha untuk bisa memperoleh manfaat bagi kehidupannya dan sekaligus mengurangi ketidakmenentuan dan resiko kehidupan yang dihadapi walaupun banyak juga anggota masyarakat yang bersifat phyantrophic.
2. Premis tentang kehidupan organisasi. Pengelompokkan sosial pada umumnya dilakukan untuk mengurangi ketidakmenentuan dan resiko kehidupan serta di dalam proses untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya masyarakat.
3. Premis tentang kebutuhan manusia dan masyarakat. Manusia mencari dan berinteraksi dengan manusia lain melalui sistem masyarakat (community system) oleh karena di dorong sifat alamiahnya. Pengelompokkan yang bersifat alamiah dan interaktif ini akan lebih penting daripada pengelompokkan berdasarkan batasan geografis. Atas dasar ini, masyarakat dipahami sebagai suatu sistem yang terjalin oleh karena adanya ikatan-ikatan nilai dan kepentingan akan kebutuhan ekspresi diri dalam masyarakat dan kebutuhan akan pemenuhan aspirasi-aspirasi kehidupannya.
4. Premis tentang partisipasi dalam pengambilan keputusan tentang perubahan. Pengembangan masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dibangun di atas premis bahwa setiap anggota masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupannya.
5. Premis tentang keberhasilan dan kegagalan program dan proyek pemberdayaan masyarakat.

Kegagalan dan keberhasilan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh kemampuan semua pihak yang telibat dalam proses pengembangan masyarakat untuk memahami realitas masyarakat dan lingkungan sistem kepercayaan dan sistem nilai masyarakat tentang arti perubahan dan arti masa depan, dan mindscape masyarakat akan menentukan keberhasilan suatu program atau proyek pengembangan dan memberdayakan masyarakat.

Agar masyarakat sungguh terlibat di dalam setiap proses pengubahan, pola komunikasi yang digunakan haruslah menggunakan pola yang dapat dengan mudah hidup serta berakar di masyarakat dan bukan pola komunikasi yang dipungut begitu saja dari luar. Dalam kaitannya dengan proses tersebut di atas, tentunya diperlukan agen pembangunan (Agent of Development) yang memiliki empat peran (Abdullah, 1992), yaitu : 1) sebagai katalisator; 2) sebagai pemberi pemecahan; 3) sebagai pembantu proses pengubahan, penyebaran inovasi; 4) sebagai penghubung sumber-sumber yang diperlukan.
Untuk mengelola kawasan yang lebih baik, sistem pengelolaan harus mampu melibatkan masyrakat di sekitarnya. Pengembangan peranserta masyrakat merupakan upaya melibatkan masyarakat secara sadar dan aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan mangrove, termasuk pengelolaan satwaliar yang ada di dalamnya. Kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat dapat melalui kegiatan pendidikan lingkungan di wilayah hutan.

Strategi pengembangan peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui strategi persuasif dan strategi edukatif. Strategi persuasif dilakukan dalam bentuk pembinaan. Kegiatan pembinaan merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran dari kelompok sasaran terhadap pesan yang disampaikan. Materi pembinaan meliputi penyuluhan tentang pentingnya hutan mangrove dan pelestariannya, pentingnya satwa bagi mangrove atau pentingnya mangrove bagi satwa serta pentingnya organisasi masyarakat. Sedangkan strategi edukatif dilakukan dalam bentuk pelatihan-pelatihan. Pelatihan dilakukan khususnya diberikan kepada masyarakat nelayan dan masyarakat sekitar kawasan. Materi pelatihan dapat bervariasi antara lain: teknik budidaya kerang hijau, pembuatan kerajinan kulit kerang, pembuatan ikan asin sehat dan bersih, pengolahan makanan berbahan baku tumbuhan magrove, pembuatan kerajinan tangan, teknik rehabilitasi mangrove (pembibitan, penanaman, pemeliharaaan), teknik identifikasi flora dan fauna, dan pelatihan interpreteur.

Solusi yang diajukan untuk meningkatkan pengelolaan kawasan SMMA dengan memberdayakan masyarakat disekitar kawasan dapat dilakukan dengan:
1. Menerapkan pengelolaan limbah melalui Inhalasi Pengelolaan air Limbah (IPAL) sehingga sampah-sampah yang memasuki kawsan baik yang berasal dari penduduk sekitar kawasan maupun dari luar kawasan dapat meminimalkan dampak pencemaran terhadap kehidupan biota di SMMA.
2. Wisata terbatas minat khusus dengan melibatkan masyarakat sebagai local guide. Upaya yang dapat dilakukan terlebih dahulu berupa pelatihan bagi masyarakat sekitar tentang pemanduan wisata sehingga terwujud pengelolaan kolaboratif antara pengelola kawasan SMMA dengan koperasi MUSTIKA (Mitra Usaha Titian Kaliadem).
3. Pendidikan konservasi dalam pengelolaan sampah yang ada untuk anak-anak dengan melibatkan SM Muara Angke, LSM, dan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA
1. Putri SNU. 2009. Keberlanjutan Pendidikan Anak Nelayan Muara Angke Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta [skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2. [LPPM] Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2000. Kondisi potensi dan permasalahan Suaka Margasatwa Muara Angke. Jakarta: LPPM.
3. Manurung G. 2005. Pengembangan Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Suaka Margasatwa Muara Angke [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjan, Institut Pertanian Bogor.

0 komentar:

Post a Comment