Cagar
Alam Gua Ulu Tiangko terletak di desa Tiangko Panjang Kecamatan Sungai Manau,
Kabupaten Merangin, Jambi. Cagar alam ini berupa goa dengan luasan yang cukup
kecil, yakni hanya 1 Ha. Namun, cagar alam Gua Ulu Tiangko memiliki keunikan
ekosistem karena goa yang terdapat didalamnya membentuk jaringan goa bawah
tanah yang rumit seperti labirin. Bentuk seperti ini rentan terhadap kerusakan
dan apabila terjadi kerusakan di satu tempat maka akan berakibat langsung
pada tempat lain.
Cagar
alam Gua Ulu Tiangko berbatasan langsung dengan sawah milik warga setempat
(contoh batas utara ada dalam Gambar 2). Batas utara, barat, selatan hingga
batas timur Cagar Alam Gua Ulu Tiangko ialah persawahan warga. Batas-batas
kawasan cagar alam hanya berupa patok kayu yang baru dibuat dalam 3 tahun
terakhir, yaitu sebelum tahun 2006. Pintu masuk menuju cagar alam ini hanya ada
satu, yakni di sebelah timur yang juga merupakan sawah. Bagian luar dari
perguaan terdapat sebuah aula besar yang dahulunya dianggap sebagai tempat
berkumpul para bangsawan atau raja-raja (Datuk 2009). Lebar mulut goa utama
tidak lebih dari 1 meter. Cukup sulit untuk memasuki goa ini karena ada
beberapa ruang yang mengharuskan untuk berjongkok agar mudah menelusurinya.
Selain itu, banyaknya guano di goa terakhir dan sempitnya mulut goa tersebut
membuat Cagar alam ini memiliki ciri khas tersendiri.
Secara
ekologi, Cagar Alam Gua Ulu Tiangko merupakan habitat walet dan kelelawar dan
memiliki peranan penting baik bagi masyarakat sekitar maupun makhluk hidup lain
yang terdapat di dalamnya. Secara
ekonomi dan sosial, keberadaan Cagar Alam Gua Ulu Tiangko mampu menjadi mata
pencarian penduduk sekitar. Akan tetapi, mengingat banyaknya cagar alam yang
rusak serta kurang diketahuinya manfaat cagar alam Gua Tiangko dari berbagai
sisi, cagar alam ini perlu mendapat perhatian khusus.
Menurut
UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah, dampak nyata pelaksanaan otonomi
daerah ternyata menjadi titik kritis bagi pemanfaatan sumberdaya alam dan harus
mendapatkan perhatian serius (Rahmiyati 2006). Besarnya pemanfaatan sumberdaya
alam akan menentukan besarnya tingkat kontribusi yang diberikan sebagai modal
dasar bagi pembangunan. Dengan kata lain, besarnya pendapatan dan penerimaan
suatu daerah dari pemanfaatan sumberdaya alam menjadi penentu pembangunan yang
ada di daerah tersebut. Sebagai masyarakat yang dekat dengan kawasan hutan dan
merasa kawasan tersebut “tidak berpenghuni” (Wiyono 2006), masyarakat
berinisiatif menjadikan kawasan ini sebagai salah satu objek wisata. Hal ini
diperkuat dengan banyaknya kunjungan rutin yang dilakukan oleh masyarakat
setempat untuk menikmati keindahan Gua Ulu Tiangko sehinnga mendorong
Pemerintah Desa untuk membuat beberapa aturan dan penarikan retribusi bagi
kawasan. Namun keadaan ini bertentangan dengan UU No. 5 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati, bahwa di dalam kawasan cagar alam tidak diperkenankan
adanya kegiatan atau aktivitas wisata alam seperti wisata massal.
Menurut
Brown (2004) dalam Yuliani dan Tadjudin (2006) jumlah
rakyat Indonesia yang tinggal di kawasan hutan mencapai 48,8 juta orang dan
10,2 juta diantaranya hidup dalam kemiskinan. Penduduk Desa Sungai Manau
sekitar 6.938 rumah tangga (Dinas Kesehatan Merangin 2007) dan yang tinggal di
dekat kawasan Cagar alam rata-rata memiliki mata pencarian sebagai petani
dengan tingkat pendapatan yang cukup rendah. Keadaan ini juga merupakan salah
satu pendorong dilakukannya aktivitas wisata di kawasan Cagar Alam.
Yang
menjadi permasalahan utama di Cagar Alam Gua Ulu Tiangko ialah adanya aktivitas
wisata (contoh aktivitas pada Gambar 3) yang dapat menimbulkan berbagai dampak
bagi lingkungan Cagar Alam maupun masyarakat. Disamping itu, kegiatan wisata
tersebut masih bersifat illegal, atau tidak mendapat persetujuan dari
pemerintah yang sah atau yang bertanggung jawab atas cagar alam.
Permasalahan
lain dalam pengelolaan Cagar alam ini ialah belum juga ada dana kompensasi yang
diperuntukkan khusus masyarakat setempat untuk mengembangkan usahanya.
Kompensasi yang dimaksud ialah sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat setelah
terbentuknya goa Tiangko sebagai kawasan cagar alam. Selama ini, pengurus BKSDA
hanya berbicara dari mulut ke mulut saja. Belum ada tindakan nyata yang
dilakukan BKSDA untuk membantu meningkatkan pendapatan masyarakat atas
terbentuknya cagar alam. Hal ini juga menjadi salah satu faktor pendorong
dilakukannya kegiatan wisata missal di dalam kawasan cagar alam tanpa dikontrol
langsung oleh pihak BKSDA.
Meskipun
demikian, segala bentuk tindakan dan aktivitas yang berada di dalam kawasan
milik Negara tetap harus disetujui dan diketahui secara hukum dan tertulis oleh
pemerintah. Karena tindakan penduduk setempat menjadikan kawasan cagar alam
sebagai salah satu areal perwisataan bagi penduduk dengan alasan apapun,
penduduk tetap dianggap melakukan tindakan illegal. Terlebih lagi yang
dijadikan areal wisata massal ialah kawasan yang dilarang dilakukan kegiatan
wisata massal di dalamnya.
Masalah
yang lebih pelik lagi terlihat dalam kemampuan publik dalam menganalisis
berbagai kebijakan yang ada. Analisis
kebijakan publik yang baik disertai dengan berbagai alternatif kebijakan yang
mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan
(Dwijowijoto 2003). Kegiatan wisata yang dilakukan secara sadar oleh warga
setempat di dalam kawasan Cagar Alam Gua Ulu Tiangko sebenarnya telah diketahui
oleh pihak pemerintah. Akan tetapi, penyalahgunaan pemanfaatan lahan tersebut
tidak mendapatkan respon yang berarti dari pemerintah sehingga menimbulkan
kesan bahwa pemerintah (dalam hal ini ialah pihak BKSDA) ikut serta dalam
pembangkangan hukum dan kebijakan publik yang ada dan tertuang dalam peraturan
perundang-undangan.